Lomba Satuguru

 

Buah Kerja Dengan Hati Dan Semangat Melayani

 

7 Maret 2021, tiba-tiba sekolah tempat saya mengajar mengumumkan mulai besok semua civitas akademika wajib melakukan pembelajaran dari rumah. Manajemen dan leader menyampaikan keputusan karena kondisi pandemi covid-19 yang semakin merebak dan mengkhawatirkan memaksa kami semua melakukan kegiatan WFH-LFH. Rasanya tak percaya dan shock mendengarnya. Pertanyaan besar muncul dalam hati: Sampai kapankah ini? Bagaimana kami melakukan proses pembelajaran dari rumah. Sejak itu istilah online/daring/PJJ dan offline atau luring menjadi trendy diperbincangkan orang.

Siapa yang tahu rencana Tuhan. Sejak wabah virus covid – 19 muncul, kehidupan perlahan dan pasti mengalami perubahan. Berbagai spekulasi muncul. Prakiraan dan asumsi bermunculan. Dalam dunia pendidikan bermunculan kebijakan-kebijakan baru muncul. Salah satunya pembelajaran yang wajib dilakukan di rumah. Hal ini, tentu tidak mudah, karena kebijakan baru ini merujuk pada pembelajaran yang sebelumnya tidak pernah kami lakukan. Keresahan dan kebingungan pun terjadi di mana-mana. Guru mulai bertanya-tanya aplikasi apa yang bisa mendukung kerja mereka. Orang tua bingung  memberikan sarana fasilitas belajar sang anak. Mau tidak mau, kami terpaksa melakukan pembelajaran berbasis jejaring atau internet.

Bisa dibayangkan bagaimana carut-marutnya pelaksanaan pendidikan di awal pandemi, mengingat begitu mendadak dan spontannya perubahan metode dan sistem pelaksanaan pembelajaran harus dilakukan. Ide pelaksanaan kegiatan profesi dan pembelajaran yang menggunakan aplikasi Webex, Zoom, Google Meet, Microsoft Teams, dan lain-lain senter diperbincangkan. Sosialisasi penggunaan gawai dilakukan melalui berbagai pelatihan instan.

Anak dan orang tua mulai mempelajari aplikasi yang ada. Kami semua berusaha beradaptasi dengan cepat atas perubahan yang ada. Bisakah anda membayangkan situasi yang ada saat itu? Berbagai pendapat, keluhan, ide-ide perbaikan, evaluasi muncul. Ketika masalah pengenalan aplikasi teratasi, muncul lagi masalah baru di kalangan masyarakat. Anak-anak butuh biaya. Pengunaan gawai dan jejaring membuat banyak pelaku pendidikan, baik pihak sekolah maupun pihak siswa mengeluhkan kebutuhan akan jaringan dan gawai.

Berbagai cerita dramatis tercipta. Awalnya masyarakat marak membeli kuota internet dari berbagai provider yang tersedia. Perusahaan provider bisa dipastikan menerima untung besar dari pandemi. Namun, bagi pelaksana pendidikan, hal ini merupakan problem yang tidak ringan. Tidak sedikit orang tua mengusahakan pemasangan wifi di rumah. Tentunya hal ini menambah biaya abunemen bulanan. Beratnya ongkos yang harus dikeluarkan dari kocek pribadi terkadang menjadikan nyali kecil dan semangat surut. Belum lagi kebutuhan dalam penyediaan gawai. Semurah apapun sebuah gawai tentu bernilai jutaan. Dan ini bagi sebagian masyarakat kita tentu hal yang tidak ringan. Meski di sekolah tempat saya mengajar, kedua kesulitan ini tidak terlalu berdampak karena kondisi keluarga yang di atas rerata, namun keprihatinan yang terjadi di banyak sekolah lain sangat cukup membuat perih hati. Tak sedikit kisah sedih yang membuat kita menitikan air mata, karena beberapa siswa terpaksa tidak ikut pembelajaran, bahkan memutuskan keluar dari sekolah karena orang tuanya dirumahkan oleh perusahaan yang mulai gulung tikar. Ini salah satu cerita yang paling membuat hati kita teriris. Dalam hal ini, upaya pemerintah sangat mendukung dengan adanya penyediaan kuota belajar bagi peserta didik maupun pendidik

Segala keruwetan, mulai dari pengusaan aplikasi, lemahnya sinyal jejaring, hingga kehilangan siswa yang putus sekolah tentunya tidak boleh menyusutkan hasrat para guru untuk terus medampingi belajar anak didik. Dengan penuh keikhasan, ketekunan untuk melakukan proses melalui cara learning by doing.  Guru berusaha terus mempelajari fitur-fitur aplikasi yang ada, sambil terus melakukan tugas pokok melakukan pendampingan terhadap siswa dalam belajar. Ini tidak mudah, banyak kesulitan dialami. Terkadang kebingungan hanya bisa diluapkan dalam resah dan tangisan kecil. Jiwa profesional harus tetap dijunjung. Guru  harus tetap tegar dan berusaha memantaskan diri untuk peserta didik dan masyarakat. Kesulitan guru makin bertambah tatkala harus melayani orang tua yang tertinggal secara teknologi. Tidak sedikit keluhan orang tua datang karena anak tidak bisa join room, atau tidak bisa upload tugas.

Jejaring yang terkendala sinyal, dan sulitnya koneksi memaksa sebagian guru dan siswa terkadang harus membuat kesepakatan untuk melakukan pembelajaran daring setengah porsi atau secara situasional. Untuk menghindari learning loss, di setiap sesi pembelajara guru selalu memiliki plan A dan plan B. Opsi plan A dan plan B berisi pilihan alternatif jika  pembelajaran tidak didukung oleh jaringan yang kuat.

Itulah sekelumit kisha haru biru yang dialami pelaku pendidik di lapangan selama WFH. Dan kini, dengan berangsur semakin membaiknya keadaan lembaga pendidikan mulai berani membuka pertemuan tatap muka di sekolah meski tidak penuh. Semi PTM diterapkan dan siswa yang diijinkan orang tua kembali belajar di kelas. Istilah pembelajara hybrid – learning dan blended-learning pun mulai menjadi buah bibir di kalangan masyarakat kita.   Meski tidak seberat mempelajari aplikasi pembelajaran, kedua metode pengajaran ini membutuhkan kemasan yang tepat agar learning loss dan efektifitas pembelajaran tercapai. Konsep pembelajaran luring-daring dalam waktu yang bersamaan tentu harus memberikan hasil yang adil dan seimbang antara siswa yang PTM di kelas maupun yang di LFH. Dan sekali lagi, saya bersyukur baik pihak yayasan, sekolah dan orang tua kami sangat mendukung dengan menyediakan sarana prasarana yang dibutuhkan.

Di saat semua sudah mulai settle, kreatifitas dan inovasi guru mulai tampak. Semangat jiwa melayani anak didik kami mendorong kami senantiasa berupaya melakukan yang terbaik yang kami mampu agar prestasi siswa kami maksimal. Semangat ini juga terjadi dalam diri saya. Dengan segala cerita suka dan duka sebagai dampak pandemi, upaya mendampingi siswa meraih prestasi terbaik tidak boleh pudar. Dengan segala keterbatasn jarak dan waktu, saya berusaha memotivasi, membakar, dan menginspirasi siswa agar terus semangat ikut join room. Terus meyakinkan kemampuan dan kelebihan siswa.  Dengan cara ini saya berharap siswa tetap merasa percaya diri akan kemampuannya dan yakin dirinya layak karena kemmpuan yang mereka miliki. Pembelajaran dengan menekankan pada projek, produk maupun portofolio terus divariasi. Tentu saja pujian dan masukan positif untuk kemajuan anak tidak pernah putus kita berikan. Pembelajaran berbasis siswa atau  students-based-learning cukup efektif untuk membantu siswa tetap aktif dan terlibat dalam proses. Namun, kekuatan magis dan sugesti terhebat yang mampu membuat kelas tidak sepi pengunjung serta virtual-room tetap banyak peserta adalah pematik semangat yang guru berikan, baik melalui pujian, kata-kata motivasi, candaan positif, kata-kata yang mengayomi dan menyejukan hati serta penyampaikan materi secara bersahabat dan kekeluargaan. Bahkan bukan hanya siswa yang selalu merindukan kehadiran kita. Orang tua dan anggota keluarga siswa di seberang layar gawai yang senantiasa memantau akan sangat mendukung usaha kita.

Satu dari sekian kisah berkesan selama pandemi yang saya alami adalah tatkala saya menyaksikan pencapaian anak didik meraih impian mereka. Di akhir tahun pembelajaran 2020-2021 lalu, sebuah pencapaian besar diraih oleh salah satu siswa yang akhirnya berhasil mendapatkan beasiswa dari sekolah karena prestasi-prestasi baik akademis maupun non akademisnya. Dengan sentuhan kesabaran guru yang bersinergi dengan orang tua sebagai pendamping anak di rumah membuahkan hasil yang maksimal. Kebahagian kami rasakan bersam-sama.

Di tahun pembelajaran 2021-2022 yang baru berjalan tiga bulan ini, rasanya tak ingin berhenti melantunkan rasa syukur. Tidak ada alasan untuk menolaknya di saat seorang guru mendapati prestasi demi prestasi berhasil diraih siswanya. Dimulai dari bulan agustus dimana seorang siswa saya meraih juara 3 lomba menyanyi lagu kebangsaan dalam lomba Hari Kemerdekaan RI. Bulan Oktober 2021, sebuah perayaan besar Hari Batik Nasional, seorang peserta didik kelas binaan saya kembali menorehkan prestasi dengan meraih juara 1 menggambar design batik. Dan hari ini, dalam perayaan Hari Sumpah berhasil menghadiahkan saya sebuah piala besar juara 1. Berbagai prestasi yang mereka capai tak lepas sentuhan yang penuh kasih dari hati dan semangat melayani yang guru berikan. Semoga kisah panjang saya yang dimulai dari awal pandemi mampu menjadi semangat dan motivasi yang menginspirasi teman-teman pendidik di Indonesia untuk tetap percaya bahwa kita bisa. Pandemi bukan halangan. Pandemi hanya sebuah keadaan. Prestasi tidak terbatas ruang dan waktu yang memisahkan seorang guru dengan siswanya. Prestasi tetap bisa dicetak dengan kolaborasi, kepercayaan, dan keyakinan.

Semoga Allah menjadikan ilmu yang kita berikan menjadi manfaat bagi seluruh umat...Aamiin

29 Oktober 2021

Daru Any Putri, S.Pd.

SD Pembangunan Jaya 2 Sidoarjo

#SatuGuru

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resume BM21 -8: Pak Dedi Yang Bikin Baper

Berpacu dengan Jarimu

Aku si Audotori, Aku bosan membaca