jiwaku Tersentuh Bersama Pandemi

 Jiwaku Tersentuh Bersama Pandemi


                    "Menjadi guru adalah profesi yang mulia", kata orang. 

                  "Dan aku bilang, "Mereka benar"

                   Bangga dan bahagia menjadi seorang guru, itulah yang kurasakan. Aku merasa profesi ini pas banget buatku. Entah karena passion aku di sini atau karena aku terlahir dari seorang guru. Sedari kecil kehidupan seorang guru, dengan segala kekurangan dan kelebihannya, dengan segala kebahagiaan dan kesedihannya, dengan segala keruwetan administrasinya, sudah aku lihat dari kecil. Semua pengalaman itu aku dapatkan dari almarhum ibuku yang telah mengabdi selama 35 tahun menjadi guru ASN ditambah 9 tahun masa pensiunnya sampai beliau meninggal di tahun 2016 lalu. 

                    Ibuku yang seorang guru ASN merupakan panutan bagiku. Meski tidak berlebih namun cukuplah untuk mementaskan 5 anaknya. Dan alhamdulillah 4 diantara kami berhasil kembali melanjutkan cita-cita beliau menjadi seorang pendidik generasi bangsa. Bahkan setelah menikah pun, pasangan hidup beberapa dari kami juga menekuni profesi guru. Begitu juga keluarga besar ibuku dan bapak aku, kakak adiknya hampir semua guru. Singkatnya, pantaslah buat kami menyebut diri kami keluarga guru. Barokallah...

                    Meski generasi kami banyak yang menjadi guru ASN, namun anak dan menantu ibuku beberapa adalah guru sekolah swasta, termasuk diriku. Lebih indah jika kita bisa mengenyampingkan istilah guru swasta atau ASN, karena aku tidak melihat perbedaannya. Gelar kami sama dan taraf kehidupan kami juga sama. Pembedanya hanya pada seragam dan no NIP. Tugas dan kewajiban kami sama persis.

                    Singkat cerita, aku menekuni profesi guru sudah sangat lama. Bahkan sebelum lulus kuliah dari Fakultas Pendidikan Bahasa Inggris Universitas Negeri Surabaya,

aku sudah menjadi guru di sekolah informal dan home-schooling. Sejak lulus tahun 2000 aku sudah mulai berani mengajar di sekolah formal. Berawal dari mengajar di sekolah berkebutuhan khusus di wilayah Surabaya, berlanjut pada sekolah menengah atas swasta. Bahkan akhirnya nasib baik membawaku menjadi seorang guru honorer di salah satu sekolah menengah atas negeri di Surabaya. Tiga tahun mengabdi menjadi guru honorer negeri, nasibku tergeser oleh pengangkatan guru ASN baru. Memang sudah garis hidup dari Tuhan, meski tersingkir dari sekolah negeri, namun sekolah swasta banyak yang menerima lamaran kerjaku. Praktis aku tidak jeda menjadi guru karena memang aku tidak hanya mengajar di satu sekolah. Beruntung nasib aku karena saat itu aku mengajar di tiga tempat, yaitu satu sekolah negeri di pagi hari, satu sekolah menengah atas swasta di siang sampai sore hari. Dan setelahnya aku manfaatkan waktuku melakukan side-job di sekolah kursus Bahasa Inggris. 

                Cukup melelahkan  mengajar di tiga tempat sekaligus setiap harinya.  Apakah aku mengeluh dan menyerah? Jawabnya tentu tidak. Semua lelah tidak berasa karena aku menjalankannya dengan ikhlas dan sepenuh hati. Alasan utama boleh jadi karena kebutuhan. Meski suamiku juga seorang guru yang menyambi menjadi editor di salah satu surat kabar di Surabaya, namun tuntutan kebutuhan kami yang hidup di kota metropolitan memaksa kami harus menjadi work-cohollic. 

                Semua kesibukanku sebagai seorang guru sekolah swasta dan lembaga kursus bahasa Inggris aku lakoni hingga kami akhirnya berhasil membeli sebuah rumah di kawasan perumahan rakyat di Sidoarjo. Boleh dibilang ini adalah satu keberhasilan besar buat kami. Tentu saja selain membuat bangga dan tentram hati orang tua, kami juga bangga terhadap hasil kerja keras kami. Saat itu anak kami sudah mulai masuk usia bangku Sekolah Dasar. Mengingat anak kami juga butuh lebih perhatian dan jarak kerja yang jauh dari rumah, terpikir olehku untuk pindah mengajar di sekolah yang lebih dekat. Bersyukur akhirnya awal tahun 2010 Tuhan memberikan aku rejeki menjadi guru di salah satu sekolah dasar bonavide di kotaku. Gembira, senang, bersyukur lebih lagi karena sekolah ini dekat dengan rumah kami, bahkan searah perjalanan suami bekerja. Secara pengeluaran ini lebih menguntungkan karena hemat biaya. 

                Hari berganti bulan dan tahun, tidak terasa aku sampai pada 10 tahun masa pengabdianku di sekolah ini. Perasaan haru menyelimutiku saat aku menerima penghargaan dari yayasan tempat aku mengajar untuk pengabdian 10 tahun pertamaku. Dan luar biasanya lagi, penghargaan itu aku dapatkan di masa pandemi covid -19, masa keprihatinan umat sedunia.

                Berbagai warna kurasakan, bagai mimpi namun ini nyata, dan hanya bisa tersampaikan lewat tetesan air dari mataku. Kusembunyikan dari semua orang meski mungkin tatapan mataku tak bisa bohong, AKU BANGGA, AKU TERHARU DAN AKU PUAS dengan semua pencapaian ini. Siapa sangka aku bisa melewati 10 tahun dengan begitu mudah? Siapa sangka aku melangkah sejauh ini menekuni pekerjaanku. 10 tahun lebih mengabdikan waktu, tenaga dan pikitran, karya dan cipta segala upaya dalam menjalankan pendidikan demi anak bangsa. Aku bangga!, ya Aku Bangga terhadap profesiku dan diriku. 

                Namun yang lebih bangga lagi, aku mampu mengabdikan diriku di masa tersulit kehidupan manusia, masa pandemi.

                Tepat satu tahun lalu, masih sangat melekat di ingatanku, tepatnya Maret 2020 akhirnya sekolah kami terpaksa lock-down mengikuti instansi dan lembaga lainnya.  Covid yang melanda secara pandemik di seluruh penjuru dunia akhirnya mematahkan hiruk pikuk roda kehidupan manusia. Saat itu masa tersulit bagi semuainsan. Kami harus ,enyesuaikan diri dengan keadaan baru, dimana banyak kantor, mall, pusat ekonomi mulai diberhentikan sebagai upaya mencegah penyebaran virus. Sebulan dua bulan sampai satu tahun keadaan tidak membaik, bahkan menuju pada tahun kedua. Keadaan mulai pincang. Orang berteriak, perut meronta karena mulai banyak orang dirumahkan......Ekonomi perlahan mulai tumbang. Banyak orang tua mengeluh karena dapurnya tak lagi mengepul dengan asap yang sama. Belum lagi, perhatian terbagi karena anak anak mereka belajar dari rumah. Sekolah menuai protes, alhasil biaya pendidikan di pangkas. Inilah saat yang mengkhawatirkan bagi kami guru sekolah swasta. Setiap hari selepas sholat dan di setiap doa selalu kupanjatkan kemakmuran kejayaan bagi ladang hidup kami, sekolah kami tempat kami menitipkan hidup. 

                Di tengah tengah harapan bisa terus survive bagi kami sekolah swasta, terpaan keluhan suara hati siswa dan orang tua semakin membuat nyali kami ciut. Namun, semangat tidak boleh kendur. keterbatasn kami untuk bertemu langsung di sekolah sangat mustahil. Pembelajaran hanya mungkin dilakukan secara jarak jauh dengan bergantung kepada jejaring internet. Suar abergema di sana sini, betapa repotnya pembelajaran berlangsung, Semakin carut marut di awal pandemi karena kebutuhan sinyal semakin meningkat dan berebut. Semua merasakan betapa perlunya meiliki kuota besar atau line wifi di rumah. Sekali lagi, kebutuhan yang tentunya menambah biaya kebutuhan sehari-hari siswa dan orang tua. Lalu apa yang aku sebagai guru bisa upayakan buat siswaku yang sedang gulana dan merana? Mereka tertekan dengan keadaan dan situasi pembelajaran yang baru. Di satu sisi kami tenaga opendidik dan pengajar juga mengalami problematik yang sama. Bedanya, kami diam. Kami tidak berontak. Kami tahu bahwa kami pendidik harus mengayomi orang tua dan anak anak didik kami. Dengan empati yang lebih kami bertekat untuk melayani lebih baik. Upaya dan usaha kami gali untuk memberikan suasana belajar yang menyenangkan buat anak anak didik kami. Satu saja di benakku, bagaimana membuat siswa siswiku tetap semangat belajar dan tidak menyerah karena keadaan. Melalui pertemuan di layar gawai, selalu satu yang aku pikir, berikan sesuatu yang indah,  yang menarik, yang membuat muridku nyaman sehingga mereka merindukan pertemuan kami lagi besok. Tak sanggup rasanya membayangkan bagaimana jika ada satu saja diantara mereka yang mogok dan tak mau atau bosan untuk membuka gawai dan belajar lagi.....lalu apa yang harus aku lakukan jika itu terjadi. Semua rasa hawatir dan takut ini membuatku semakin dekat mengingat Yang KUasa dan berserah kepadanya. Doa demi doa supaya kedaan semakin baik, dan covid-19 segera sirna tak pernah lepas dari mulut ini. Tuhan mohon sudahi ujian ini, mohon diberikan jalan keluar........

                    Hati semakin teriris tatkala berita duka datang dari para korban covid. Diantara rasa takut ini, tetap kusemangati diriku agar tidak tumbang oleh masalah virus. Deretan doaku semakin panjang. Kumohonkan kesehatan dan keselamatan untuk keluargaku, untuk keluarga siswa siswiku. Jangan ada di antara anak naka kami, diri kami keluarga kami yang terjangkit, yang sakit dan mohonkan selalu sehat. Kumohonkan orang tua mereka lancar pkekerjaan dan ekonominya, agar mereka tetap bersama kami. Yang kami takutkan memang terjadi. Hati kami sedih, kami menangis karena belajar siswa siswi kami mulai terimbas keadaan. Mereka yang ayahnya meninggal karena covid, mereka yang ayahnya diputus kerja oleh perusahaan terpaksa meninggalkan bangku sekkolah dan memilih pulang ke kampung. Astaghfirullah......Sedih rasanya mengingat si Dudung yang selalu riang, si Tina yang rajin dan pemalu, si Atik yang ceria biasanya bersama kami di layar gawai, kini tak lagi bersama kami. Terlintas tanya, bagaimana nasib mereka? Apakah mereka masih mampu menikmati belajar onine meski di amanpun berada? Pertanyaa demi pertanyaan ini membawaku merenung bersama suara jangkrik di luar pintu rumahku......

Tuhan semoga Engkau mudahkan urusan umatmu di tengah keprihatinan ini......







                                



                

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resume BM21 -8: Pak Dedi Yang Bikin Baper

Berpacu dengan Jarimu

Aku si Audotori, Aku bosan membaca