Senja Bergelayut Hujan

              Seorang diri menatap awan. Siang ini hujan mengguyur pertiwi. Basah tanah dan dedaunan menambah segar udara sore. Semilir udara dingin menerpa lewat hembusan angin sepoi-sepoi. Kuhirup dalam-dalam udara segar untuk menenangkan pikir.
               Suasana di luar jendela nampak berbeda. Kiranya hujan merubah suasana. Nampak sepi di jalan, mungkin orang-orang terlena dalam lelapnya. Kulihat pepohonan juga tenang, tak bergerak sedikitpun. Hanya pucuk daun-daun hijaunya sesekali menari malu-malu. 
               Melayang pikiranku ke 35 tahun silam. Dalam renungku, aku bandingkan keadaanku dulu dan sekarang dalam suasana yang sama. Hujan, hening, dingin, dan remang. Ooooh, begitu banyak perbedaan, begitu banyak rasa yang berbeda. 
               35 tahun silam, dalam balutan kesederhanaan kehidupan desa, hujan begitu bersahabat. Suara gemericiknya begitu indah. Gelegar guntur dan kilatan petir yang menakjubkan. Si kecil aku saksi semua itu dengan takjub dan penuh kekaguman. Tanpa rasa gentar kutatap kilat dan kusambut suara petir bersama kehangatan keluarga besarku. Disana ada ibuku dan saudara-saudaraku dalam rumah kami yang besar dan sederhana. Kiranya suara guntur tak mampu mengalahkan gelak tawaku bersama keempat saudaraku. Kiranya petir tak menyilaukan mata kami yang terus menanti kedatangannya. Kiranya air hujan tak membuat badan kami menggigil bahkan ketika kami berlari dalam hujan di pekarangan rumah kami meski tanpa baju di badan. Dan setelah hujan reda, kami berlari pulang, bersama-sama berebut air dari sumur pompa di belakang rumah. Bergantian kami saling membantu mengambil air. Hangat suasana yang menimbulkan rindu di dada.
             Hari ini dalam renungku aku berkata dalam hati, hujan dengan air yang sama namun kau jatuh di tempat yang berbeda. Dan rasa ini tak lagi sama dengan rasa saat itu.......Hari ini kulihat rumah berderet banyak di depanku, di sampingku, di belakangku. Namun, tak satu pun manusia muncul di sana. Suara air yang mengguyur di atas genteng rumah-rumah kami terdengar tanpa irama dan justru mendebarkan jantung. Kilatan petir dan suara guntur yang terdengar jauh di luar pintu rumah yang tertutup rapat menyiutkan nyaliku. Kutatap kedua belahan jiwaku yang berbalut selimut. Lirih kubisikan di telinga mereka kidung tidur dengan belaian lembut. Ku tak berdaya membangunkan mereka untuk menikmati suasana, karena hari ini bukanlah 35 tahun silam. Dan biarlah mereka menciptakan damai dalam cerita mereka ....
      

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resume BM21 -8: Pak Dedi Yang Bikin Baper

Berpacu dengan Jarimu

Aku si Audotori, Aku bosan membaca